Sejarah Gerakan Mahasiswa di Indonesia tidak banyak berbeda dengan sejarah Gerakan Mahasiswa pada umumnya dibelahan dunia manapun. Gerakan Mahasiswa yang didominasi oleh para pemuda yang memiliki watak orang muda yaitu menginginkan perubahan. Dan lahirnya Gerakan Mahasiswa itu tidak dengan perencanaan sebelumnya yang matang, melainkan banyak dikarenakan adanya momentum politik di Indonesia. Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia sesuai dengan konteks zamannya, haruslah memberikan kesimpulan apakah gerakan tersebut, dalam orientasi dan tindakan politiknya, benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struktural rakyat Indonesia. Orientasi dan tindakan politik merupakan cermin dari bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada rakyatnya serta kecakapan merealisasi nilai-nilai tujuan atau ideologinya.
Nilai lebih organisasi dalam gerakan mahasiswa hanyalah bermakna bahwa di dalam organisasi, mahasiswa ditempa dan dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Pemahaman terhadap masyarakat dan persoalan-persoalannya.
2. Pemihakan pada rakyat.
3. Kecakapan-kecakapan dalam mengolah massa.
Ketiga syarat tersebut mencerminkan:
1. Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa.
2. Metodologi gerakan mahasiswa.
3. Strukturalisasi sumber daya manusia, logistik dan keuangan gerakan mahasiswa, dan
4. Program-program gerakan mahasiswa yang bermakna strategis-taktis.
ILUSTRASI TENTANG PERKEMBANGAN GERAKAN MAHASISWA
Murid-murid STOVIA mencoba memulai gerakan dengan mendirikan Trikoro Dharmo pada tahun 1915. Organisasi-organisasi yang tumbuh kemudian adalah juga organisasi pemuda kedaerahan (Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, dsb.) dan belum tercipta konsolidasi. Baru dengan prakarsa Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), beberapa organisasi kedaerahan dilebur menjadi Indonesia Muda (IM) pada tahun 1930.
Tahun 1915-1930 merupakan waktu yang cukup panjang bagi pemuda dan pelajar untuk memilki penjelasan yang lebih jernih tentang nasionalisme yang melekat pada organisasi Indonesia Muda dan melepaskan dirinya dari keorganisasian sektarian pemuda dan mahasiswa guna mempertajam orientasi anti-kolonial. Selain itu juga gerakan ini telah melewati masa-masa sulit: kelumpuhan pergerakan nasional akibat pemerintahan kolonial yang semakin represif, setelah pemberontakan PKI 1926 dan 1927 serta pemogokan-pemogokan buruh.
Di dalam kondisi kelumpuhan pergerakan nasional seperti itu muncullah alternatif Kelompok Studi (Studie-studie Club) yang politis dilihat dari orientasi dan tindakan politiknya. Analisa terhadap Studie Club jelas memberikan kesimpulan bahwa kondisi obyektif ekonomi politik pada saat itu politik kolonial yang semakin represif, yang kemudian berubah menjadi liberal karena perubahan status ekonomi Belanda dan Hindia Belanda dapat direspon dan distimulasi oleh kondisi subyektif studie club yang bertransformasi menjadi sebuah partai.
Pada masa penjajahan Jepang organisasi pemuda yang ada dibubarkan dan pemuda dimasukkan ke dalam; Seinen dan Keibodan(Barisan Pelopor) dan PETA (Pembela Tanah Air) untuk dididik politik untuk kepentingan fasisme. Yang menjadi topik menarik pada jaman ini adalah ramainya bermunculan Gerakan Bawah Tanah (GBT) dengan rapat-rapat gelap, dan penyebaran pamflet. GBT ini dikombinasikan dengan gerakan legal Sukarno; merupakan jalan keluar yang logis bagi perlawanan anti fasis. Suatu jalan keluar yang mencekam dan tidak memassa. Tingkat kesadaran massa untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang revolusioner.
Masa 1945-1950 merupakan momentum yang penting dalam gerakan pemuda dan pelajar: selain melucuti senjata Jepang, juga memunculkan organisasi-organisasi seperti: Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI), Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi. Pada saat belum ada organisasi pemuda dan pelajar, yang berbentuk federasi, diselenggarakan Kongres Pemuda seluruh Indonesia I (1945) dan II (1946). Dan Gerakan Pemudalah yang berhasil mendesak Soekarno-Hatta melalui penculikan untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan RI.
Periode Demokrasi Liberal 1950-1959 ternyata tidak memberikan pendidikan politik yang berarti bagi mahasiwa. Pertemuan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) dalam bulan Desember 1955 di Bogor PPMI memutuskan untuk menarik keanggotaannya dari FPI. Dengan demikian jelaslah bahwa keanggotaan PPMI dan FPI yang secara sosiologis dapat memberikan dimensi lingkungan sosial yang lebih luas, dihindari oleh gerakan mahasiswa. Mahasiswa justru melumpuhkan akstivitas politik mereka. Kemudian membius diri dengan slogan-slogan "Kebebasan Akademik" dan "Kembali ke Kampus". Mahasiswa lebih aktiv dalam kegitan rekreatif, perploncoan, dan mencari dana.
Persiapan Pemilu 1955 gerakan mahasiswa kembali mendapat momentumnnya. Pada saat itu berdiri organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke partai, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafilsi dibawah PNI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, Concentrasi Gerakan Mahasiawa Indonesia (CGMI) dengan PKI.
Pada tanggal 28 Februari 1957, aktivis-aktivis mahasiswa yang berbasis di UI berprakarsa menggalang senat-senat mahasiswa dari berbagai universitas dan berhasil membentuk federasi mahasiswa yang bernama Majelis Mahasiswa Idonesia (MMI). Sementara itu peran militer dalam negara terus mengalami perluasan sejak akhir 1950-an.
Depolitisasi gerakan pemuda dan mahasiswa bermula dari penandatanga‑nan kerja sama antara pemuda dan Angkatan Darat 17 Juni 1957. Eskponen gerakan sosialis dan HMI diikut sertakan dalam aktivitas-ak‑stivitas di luar kampus. Sejak awal 1959 mereka telah mengukuhkan hubungan dengan administratur-administratur militer yang berkaitan dengan urusan pemuda dan mahasiswa. Jadi bukan hal yang aneh bila pada tahun 1966 mahasiswa-mahasiswa Bandung adalah yang paling militan berdemonstrasi mengulingkan Soekarno. Sementara itu Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dibubarkan dengan tuduhan terlibat usaha pembunuhan atas Soekarno.
GMNI, CGMI dan GERMINDO kemudian membentuk Biro Aksi Mahasiwa dan menyelengarakan Kongres kelima PPMI di Jakarta Juli 1961. Pada saat yang sama GERMASOS dan HMI berhasil masuk ke dalam organisasi-organisasi lokal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Dalam tahun 1961, organisasi-organisasi lokal tersebut membentuk Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL). Dalam banyak kesempatan SOMAL selalu menegur PPMI agar jangan terlalu terlibat dalam isu politik. Orang akan dapat membaca dalam pernyataan-pernyataan SOMAL, ada semacam hubungan antara aspirasi SOMAL dengan aspirasi senat-senat mahasiswa yang tergabung dengan MMI.
Sehubungan dengan insiden rasial di Bandung, Mei 1963, konsulat PPMI Bandung mengeluarkan pernyataan: Bahwa yang sebenarnya terjadi bukanlah bermotifkan rasial, akan tetapi merupakan isu sosial yang diakibatkan gap antara si kaya dan si miskin yang semakin dalam. Keadaan ini dimanfaatkan oleh MMI, mereka bergabung dengan organisasi pecahan PPMI Bandung dan medirikan Majelis Permusywaratan Mahasiswa Indonesia (Mapemi) pada bulan Agustus 1965. Haruslah dicatat dalam eksekutif MMI terdapat perwakilan dari Akademi Hukum Militer (AHM) dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), sehingga tidak mengherankan bila kepemimpinannya dipegang oleh perwira tingkat menengah AD dan kepolisian.
Dalam masa ini orientasi gerakan mahasiswa yang sudah mulai membaik dalam mengugat hubungan sosial kapitalisme, fasisme, imperialisme, dan sisa-sisa feodalisme dikalahkah oleh kesiapan militer (yang masuk dalam gerakan pemuda mahasiswa dan partai-partai sayap kanan). Jadi Gerakan Mahasiswa periode 66 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa yang tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat. Sebelum tahun 1970-an aktivis yang mula-mula sadar akan kekeliruan ini adalah Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib (HMI).
Namun seperti juga generasi baru aktivis-aktivis mahasiswa dan pemuda tahun 70-an lainnya yang mulai menyadari kekeliruan strategi mereka kembali membuat kesalahan strategi lainnya: terpisah dari potensi kekuatan rakyat, atau tanpa basis kekuatan massa yang luas, demostrasi TMII; anti-korupsi; Golput; Malari; dan gerakan '78 dengan Buku Putihnya merupakan contoh-contoh keterasingan dan frustasi. Jadi pada periode 74-78 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa mengalami kegagalan karena gerakan tersebut kurang berinteraksi dengan massa rakyat.
Pada tahun 1980-an, tawaran LSM, literatur populis dan ada juga sedikit yang struktural terutama yang di Barat, serta belajar keluar negeri merupakan suatu kondisi objektif yang ditawarkan oleh kapitalisme yang sedang berada pada titik kontradiski ekonomi, politik, dan budayanya produktivitas yang rendah (terutama produk yang mempunyai watak nasionalistis), kemiskinan, gap antara kaya dan miskin, pengangguran, konsumerisme, kesenjangan harga dan pendapatan, krisis kepemimpinan, rendahnya kuantitas dan kualitas pendidikan politik, kosongnya dunia pendidikan, keilmuan dan budaya yang nasionalistis dan pro-rakyat, perusakan lingkungan, dekadensi moral, dan sebagainya, yang belum pernah terjadi sedemikian membahayakan dalam sejarah bangsa Indonesia.
Kondisi popularitas LSM, gelar-gelar akademis, teori-teori dan kesimpu‑lan-kesimpulan ilmu-ilmu sosial (tentang masyarakat Indonesia) yang dipasok dari luar negeri (terutama dari Barat) menyuburkan budaya diskusi, penelitian masyarakat dan aksi-aksi sosial kedermawanan dan peningkatan pendapatan. BRAVO! buat menjamurnya kelompok studi (1983) dan LSM, yang direspon mahasiswa-mahasiswa moderat. Mereka yang tadinya berkeras menolak jalan aksi-aksi pengalangan massa, dalam waktu relatif cepat berbalik beramai-ramai ikut mendukung apa yang disebut sebagai gerakan "arus bawah". Yang lebih parah lagi adalah LSM, yang walaupun tidak pernah memberikan picu bagi tindakan politik, proses pembusukkannya lebih lamban ketimbang kelompok studi. Sokongan keuangan yang besar, yang terus-menerus mendemoralisasi aktivis-aktivis sosial (bahkan mahasiswa) yang diserap kedalamnya, menyebabkan LSM bertahan dalam wataknya semula.
Tahun 1985 dan seterusnya kebekuan respon masyarakat terhadap kondisi objektif ekonomi, politik, dan budaya yang sangat negatif, berhasil oleh gerakan-gerakan mahasiswa, yang para pelakuknya banyak berasal dari kelas menengah ke bawah dan masih sektarian bila dibandingkan dengan Filipina dan Korea Selatan. Bila dilihat konsolidasi dan isunya, gerakan mahasiswa periode ini relatif lebih merakyat, berhasil dalam membentuk opini dan lebih kuat dalam bargain politiknya.
Aksi mahasiswa Ujung Pandang (1987) adalah aksi yang baru pertama kalinya dengan turun ke jalan (rally), dengan jumlah massa yang relatif besar, dengan mengambil isu kebijaksanaan pemerintah dalam peraturan lalu lintas, judi, dan ekspresi kesulitan ekonomi. Aksi ini dihentikan dengan memakan beberapa korban. Tradisi turun ke jalan ini telah menjadi trend pada saat ini, Pengerahan massa yang relatif besar pada saat ini belum konsisten pada tujuan politiknya. .
Celah-celah kegiatan pers dan tersebarnya mass media kampus, kegiatan-kegiatan diskusi, aksi-aksi yang dipikirkan masak-masak, benar-benar memberikan pengalaman yang berharga, baik dari segi pematangan, pemahaman, penyatuan pikiran maupun rekonsolidasi bagi proses selanjutnya gerakan mahasiswa tahun 80-an.
Kontinum gerakan mahasiswa tahun 80-an tampaknya kini lebih menggembirakan. Hingga sekarang mereka bisa merebut opini nasional dan internasional, isunya lebih merakyat, bargain politiknya lebih kuat, dapat menarik simpati rakyat serta tingkat kolaborasi dengan unsur-unsur administrator militer, birokrat, partai, ex-partai, ormas, LSM, kelompok studi, maupun lainnya boleh dikatakan sangat rendah. Namun kontinum tersebut belumlah sampai pada tingkat seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Tahun 1990, pada periode ini Gerakan Mahasiswa kembali mencoba membangun gerakan massa dengan hidupnya kembali aktivitas kampus. Gerakan Mahasiswa turun mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan. Tahun 1992 terbentuk Solidaritas Mahasiswa Inndonesia untuk Demokrasi (SMID). Dan kader-kader banyak yang turun kesektor-sektor rakyat, seperti buruh, petani. Kader-kader SMID juga aktif mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan, seperti kasus tanah Kedung Ombo, kasus buruh di Surabaya dan Jabotabek. Sampai-sampai kader-kader SMID banyak yang diculik dan dibunuh oleh Rejim diktator Orba. Puncaknya adalah Tragedi 27 Juli 1996 yang sempat membuat perlawanan Gerakan Mahasiswa kembali tiarap. Dan kembali melakukan gerakan bawah tanah. Tapi akibat dari tragedi 27 Juli perlawanan rakyat terhadap rejim penindas orba semakin besar, sentimen anti Soeharto sangat tinggi.
Gerakan Mahasiswa Tahun 1998
Gerakan Mahasiswa 98 munculnya bersifat momentum. Di akhir tahun 1997 Indonesia mengalami resesi ekonomi sebagai nakibat dari kewajiban untuk membayar hutang luar negeri yang sudah mengalami jatuh tempo. Dampak dari krisis ekonomi di Indonesia yang berkepanjangan ini adalah naiknya harga-harga sembako. Bulan-bulan berikutnya ditahun 1998 adalah malapetaka bagi rejim Orba. Tidak seperti yang banyak dibayangkan oleh pakar-pakar politik, perlawanan massa berkembang sedemikian cepat dan masif di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia. Posko-posko perlawanan sebagai simbol perlawanan terhadap rejim muncul diberbagai kampus dan dalam kesehariannya posko ini sangat disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang politis sifatnya seperti rapat-rapat koordinasi, pemutaran film-filim politik, dll. Tak nampak lagi kultur mahasiswa yang sebelumnya apatis, hedon, cuek, dll. Hampir di setiap sudut kita dapat menemukan mahasiswa yang berbicara tentang politik, benar-benar sesuatu yang baru!
Intensitas gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi obyektif yang semakin tak menentu seperti krisis yang tak kunjung usai, tingkat represi yang semakin meningkat mulai dari penculikan aktivis sampai pada pemukulan dan penembakan mahasiswa yang mencoba turun ke jalan. Puncak dari tindakan represi ini adalah dengan ditembaknya 4 mahasiswa Univ. Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Penembakan ini memicu kemarahan massa rakyat, yang representasinya dilakukan dalam bentuk pengrusakan, penjarahan ataupun pemerkosaan di beberapa tempat di Indonesia. Praktis dalam 2 hari pasca penembakan, Jakarta berada dalam kondisi yanag tidak terkontrol. Mahasiswa kemudian secara serempak menduduki simbol-simbol pemerintahan lembaga legislatif beberapa hari kemudian (18 Mei), yang dilakukan hingga Soeharto mundur.
Bentuk-bentuk perlawanan Organisasi mahasiswa pada saat itu adalah membentuk komite-komite aksi ditingkatan kampus dan juga mengajak elemen massa rakyat untuk menuntaskan Rejim Orba. Propaganda-propaganda yang dibangun pada awalnya mengangkat isu-isu ekonomis tentang turunkan harga sembako. Dan meningkat menjadi isu politis yaitu turunkan Soeharto dan cabut Dwifungsi ABRI (untuk isu ini hanya di beberapa kota yang tergolong lebih relatif radikal). Slogan aksi pada saat itu adalah Reformasi. Tapi pada saat itu terjadi perdebatan-perdebatan dikalangan Gerakan Mahasiswa. Perdebatan itu adalah apakah Gerakan Mahasiswa ini Gerakan Moral atau Gerakan Politik.
Tanggal 21 Mei 1998 Gerakan Mahasiswa yang di dukung oleh rakyat mampu melengserkan Soeharto. Tetapi setelah itu GM seperti kehilangan arah dan merasa puas. Padahal yang justru menjadi problema rakyat Indonesia pada saat itu belum tersentuh. Di tingkat Gerakan Mahasiswa yang terjadi justru polarisasi dalam gerakan dan bukannya tuntasnya agenda-agenda Reformasi atau Revolusi Demokratik.
Membangun Kembali Gerakan Mahasiswa
Setelah Soeharto dilengserkan yang naik menggantikannya ialah Habibie yang notabene anak didik Soeharto. Dan masa pemerintahan Habibie ini jelas hanya pucuk pimpinan saja yang berubah, tetapi sistim ynag dipakai tetap mempertahankan sistim pemerintahan Orde Baru, Karena Habibie juga bagian dari produk Orba. Sehingga pada tanggal 13 November 1998 pecah peristiwa Semanggi I. Dimana terjadi pembantaian yang dilakukan aparat keamanan terhadap mahasiswa dan massa rakyat yang menolak di adakannya Sidang Istimewa MPR. Banyak jatuh korban dari pihak mahasiswa dan massa rakyat, sampai jatuh korban jiwa karena tindakan kekerasan yang diakibatkan pemukulan dan penembakan yang dilakukan Pasukan PHH pada saat itu.
Untuk membangun kembali Gerakan mahasiswa yang teridiolgis dan jelas keberpihakannya terhadap kelas kaum pekerja diupayakan oleh beberapa kawan mahasiswa pelopor. Beberapa organisasi mahasiswa dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogja, Semarang, Solo dan Purwokerto membentuk organisasi tingkat Nasional yang diberi nama FONDASI (Front Nasional Untuk Demokrasi) pada tanggal 5 Februari 1999 di Bandung. FONDASI kemudian melibatkan diri melalui anggota-anggotanya pada tanggal 28 Februari - 5 Maret 1999 diadakan RMNI I di Bali yang dihadiri oleh 53 organisasi dari seluruh Indonesia. Hasilnya adalah aksi serentak tanggal 13 April di kota-kota besar Indonesia. Lalu dilanjutkan pada pertemuan RMNI II di Surabaya yang mengalami jumlah penurunan peserta menjadi 32 organisasi. Namun RMNI I &II tersebut tidak menghasilkan kepemimpinan nasional gerakan mahasiswa. Perdebatan yang terjadi di RMNI I dan II adalah mengenai pemerintahan transisi dan cabut dwifungsi ABRI, dan terutama tentang pengambilan momentum pemilu 7 Juni 1999. Apakah momentum Pemilu 7 Juni ini di ambil atau tidak. Ada ketakutan jika mengangkat isu boikot pemilu, massa rakyat pendukung fanatik partai-partai politik akan memukul gerakan mahasiswa. Namun kenyataannya, hal tersebut tidak terjadi.
Akhirnya Fondasi ditambah kelompok-kelompok mahasiswa yang memiliki kesamaan isu yaitu cabut dwifungsi ABRI, Pemerintahan Transisi, dan kesamaan taktik menghadapi Pemilu membentuk LIGA MAHASISWA NASIONAL Untuk DEMOKRASI (LMND) dalam Kongres Mahasiswa Nasional Pertama di Bogor tanggal 9-13 Juli 1999.
Pasca Pemilu Rejim Habibie ingin mensahkan RUU PKB yang dibuat oleh DPR. Dan kebijakan ini pun ditolak oleh mahasiswa dan massa rakyat dengan melakukan pelawanan hingga meletuslah peristiwa Semanggi II, Peristiwa ini kembali menimbulkan jatuh korban dipihak mahasiswa dan massa rakyat. Dan akhirnya Rejim Habibie menunda UU Drakula tersebut.
Tanggal 20 Oktober GusDur naik menjadi Presiden dan Megawati menjadi wakilnya. Dan Gerakan Mahasiswa menghadapi Rejim yang jelas berbeda dengan Rejim sebelumnya. Ruang-ruang demokrasi memang sedikit terbuka dimasa pemerintahan Abdurahman Wahid ini, tapi disatu sisi masih banyak terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap para demonstran. Rejim GusDur-Mega pun terbukti ternyata tidak berpihak pada rakyat karena kebijakan-kebijakan neoliberalnya. Dan yang membuat kecewa lagi Rejim ini pun ikut mendukung dan mencoba menggolkan kembali RUU PKB yang jelas-jelas sudah memakan korban jiwa tersebut. Ini dikarenakan Rejim GusDur-Mega terlalu banyak kompromi dan tidak berani bertindak tegas terhadap sisa-sisa kekuatan lama yaitu sisa Orba dan militer.
Namun disatu sisi ternyata rejim GusDur yang masih bersifat setengah hati dalam menegakkan demokratisasi di Indonesia, mencoba untuk menarik simpati massa dengan menyingkirkan elit-elit politik gadungan dan militer yang pada saat Pemilu telah mendukungnya. Tentu saja hal ini berakibat pada munculnya konflik diinternal kabinet rejim GusDur. Elit-elit politik gadungan yang disingkirkan oleh GusDur-pun menggunakan berbagai macam cara baik itu intra maupun ekstra parlementer dalam rangka mendelegitimasi rejim GusDur. Gerakan mahasiswa yang ada pada saat itupun tidak luput dari intervensi kepentingan para elit politik gadungan tersebut. Akibatnya terjadi polarisasi antara gerakan yang pro GusDur dengan gerakan yang anti terhadap GusDur, sebagian besar dari mahasiswa yang terjebak dalam polemik ini adalah kalangan Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM]. Diantaranya yang cukup dominan dalam melakukan aksi-aksi massa adalah Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia atau biasa disingkat BEM-sI yang melakukan penolakan terhadap GusDur lewat isu seperti Buloggate dan mengusulkan segera dilakukannya Sidang Istimewa MPR/DPR. Golongan Kedua adalah yang menamakan diri mereka Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia [BEMI] dengan aksi-aksi pendukungan GusDur mereka. Saat inilah mahasiswa mengalami ketidakfokusan isu.
Namun demikian ada golongan diluar itu yang melihat bahwa ada usaha permainan politik oleh sisa-sisa Orde Baru yang manifes dalam partai Golkar serta Militer dibalik ini semua. Analisa ini datang dari golongan gerakan ekstra parlementer seperti LMND, FORKOT, FAMRED, PMII serta beberapa organ sektoral lainnya seperti dari buruh ada FNPBI yang cukup dominan serta dari partai politik PRD, PKB dan komunitas NU-nya. Golongan yang terakhir ini mencoba untuk melakukan aksi-aksi propaganda bahwa permasalahan sebenarnya bukanlah pro-kontra GusDur melainkan adanya bahaya kekuatan ORBA yang mulai bangkit kembali. Isu yang dibawa adalah seperti Bubarkan Golkar, Bubarkan Parlemen. Namun lewat upaya-upaya licik dari elit politik gadungan –GusDur termasuk didalamnya- maka permasalahan yang lebih esensial ini menjadi kabur dan berakhir dengan kejatuhan GusDur.
Lewat mekanisme undang-undang politik yang ada dipilihlah Wakil Presiden pada saat itu, Megawati untuk menggantikan GusDur. Rejim yang baru ini segera melakukan reshuffle kabinet dalam rangka melakukan power sharing dengan elit-elit politik gadungan seperti PAN, PPP, PBB, GOLKAR, serta militer. Format baru ini telah membentuk sebuah rejim baru Mega-Hamzah –sebagai wakilnya- yang ternyata masih juga melanjutkan kebijakan GusDur yang tidak berpihak pada massa rakyat.
Gerakan Mahasiswa Kini
Sudah menjadi watak alami dari borjuasi di Indonesia yang pengecut dan selalu menghambakan diri kepada kekuatan modal asing. Hal ini tercermin lewat kebijakan Mega-Hamzah yang sejak awal menitikberatkan pada pembangunan situasi yang kondusif di dalam negeri untuk menarik investor asing masuk ke Indonesia. Solusi kebijakan ini ternyata pada perkembangannya hanya menambah hutang-hutang baru yang dilimpahkan ke rakyat dan yang terjadi malah krisis berkepanjangan. Salah satu kebijakan dari rejim Mega-Hamzah yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat adalah pencabutan subsidi sehingga menibulkan efek domino yang memicu tingkat kenaikan harga bahan pokok. Selain itu di sektor industri terjadi “pengefesiensian” akibat melambungnya harga BBM, konsekuensinya terjadi rasionalisasi besar-besaran terhadap buruh pabrik. Akibat dari itu adalah meningkatnya jumlah pengangguran dimana-mana hingga nominal 37 Juta. Belum lagi kebijakan fiskal ekspor dan impor yang memicu tingkat inflasi dan menurunnya pertumbuhan ekonomi hingga 3%. Kebijakan Mega-Hamzah yang paling fatal adalah memberikan konsesi yang begitu besar terhadap pihak militer dengan memberikan kedudukan sentral terhadap para pejabat militer yang bertanggungjawab pada kasus-kasus pelanggaran HAM dan demokrasi. Hal inilah yang menjawab mengapa terjadi represifitas yang begitu besar terhadap gerakan saat ini oleh aparat.
Melihat hal ini justru gerakan mahasiswa mengalami kemunduran dan menjadi terpisah dengan basis massa rakyat lainnya. Gerakan mahasiswa malah sibuk dengan isu-isu yang elitis dan cenderung tidak fokus. Hanya beberapa saja dari organ gerakan ekstra kampus yang masih mampu mengkonsolidasikan diri dan terus menerus secara konsisten melakukan tuntutan terhadap rejim. Namun yang terjadi sekali lagi adalah pengulangan sejarah, rejim Mega-Hamzah yang awalnya diharapkan mampu bertindak lebih demokratis dan populis ternyata malah mempraktekkan kebijakan yang sama dengan jaman Orde Baru berkuasa. Terjadi pemberangusan terhadap nilai-nilai demokrasi di gerakan lewat penangkapan aktivis-aktivis demokrasi, terjadi pengilusian terhadap gerakan mahasiswa oleh rejim dengan mengkampanyekan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral semata. Artinya gerakan mahasiswa cukup mengkritisi saja problema yang ada bukannya menjadi kelas transisional terhadap kelas yang lain untuk memberikan transformasi kesadaran ke hal yang lebih progresif dan menjelaskan kepada massa akan perlunya rakyat mengambil alih pemerintahan sebagaimana selalu dikampanyekan oleh organ-organ pro demokrasi –termasuk LMND.
Gerakan mahasiswa menjadi gagap dalam merespon keadaan krisis ini berbeda dengan sektor massa yang lain; Buruh, Tani, Kaum Miskin Kota yang tanpa dukungan dari mahasiswa-pun ternyata mampu melakukan aksi dalam skala besar. Disinilah peran pelopor gerakan mahasiswa untuk menyatukan kekuatan-kekuatan tersebut menjadi hal yang urgen.
Rakyat yang sedang resah membutuhkan sebuah kepeloporan dalam hal kesadaran disini. Memajukan kesadaran ekonomis massa hingga menuju tataran politis adalah konkretisasi kepeloporan yang dimaksud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar